Bekerja 10 bulan di Auto 2000 membuatku masih menjadi
seorang junior kacang. Tapi kelakuanku sudah susah diatur. Membaca novel atau
bermain internet membuatku kadang tidak mempedulikan orang lain ngomong, tidak
terkecuali atasan.
“Itu toolbox merah punya siapa, Ndi?” Bang Tomel menanyakan
sebuah toolbox yang tergeletak di lemari EM3. Agaknya dia lagi emosi. Dari nada
bicaranya.
“Nggak tau, Bang.” Aku hanya menjawab singkat karena aku
masih asyik membaca novel Rantau 1 Mutiara karangan Ahmad Fuadi. Novel yang
sangat memotivasi diriku untuk bisa menjadi seperti karakter utama dalam cerita
itu. Si Alif, laki-laki hebat yang berhasil mewujudkan impian bersekolah S-2 di
Amerika dan hidup beberapa tahun disana bersama istri tercintanya, Dinara.
“Sini kau!” Nada bicara bang Tomel mulai meninggi. Kali ini
dia benar-benar kesal. Dia sudah bertanya ke orang-orang yang lain tidak ada
yang mengakui itu toolbox siapa. Katanya dulu aku pernah memakainya. Jadi dia
langsung saja marah sama aku yang kalau ditanya tentang toolbox itu jawabnya
hanya singkat, “nggak tau”.
“Iya bang sebentar”, Aku keluar dari ruangan mekanik.
Membatasi sampai mana tadi aku membaca novel.
“Ini aku tanya sama siapa-siapa nggak ada yang ngaku toolbox
siapa, terus katanya punya kamu. Sekarang jelaskan kamu tau nggak historis
toolbox ini. Soalnya kamu kan sudah lama di EM3. Masak nggak tau ada barang
kaya di lemarinya.”
“Itu dulu memang punya aku, bang. Tapi sekarang sudah sama
Tungir. Aku udah nggak tau kuncinya.”
“Tungir mana. Tungir..... Tungir.......” Berjalan dengan
tergesa dia mencari kawanku yang bernama si Tungir.
“Nah, Ngir. Ini toolbox kamu bukan??”
Tungir yang memang anaknya nggak bertanggungjawab Jangankan
masalah beginian. Masalah pekerjaannya saja kadang dia nggak mau tanggungjawab.
Sontak di hanya bilang “Nggak tahu, bang.”
“Cemana kalian ini semua nggak ada yang tau. Sekarang gini,
ini dulu pernah dipakai sama siapa?”
Aku yang menjawab, dan Tungir hanya diam layaknya orang
bloon. “Dulu itu memang aku yang pakai, terus waktu itu sore-sore Tungir ada
lembur ngerjain ganti shock depan Fortuner. Dia nggak punya kunci. Dia minjam
toolbox ini. Sampai sekarang kuncinya belum pernah dibalikin sama dia.”
Sudah kadung emosi. Kesal disuruh mengurusi kunci-kunci yang
ada dibengkel oleh atasan yang padahal ini bukan rangkaian dari pekerjaannya.
Tapi bang Tomel harus tetap menjalani tugas ini. Tidak bisa menolak tugas ini
walaupun terpaksa tetap dilakuin karena ini perintah dari atasannya. Emosi. Aku
bisa melihat darah didalam tubuhnya mengalir deras dan naik semua ke kepala.
Mukanya menjadi seram. Otot-otot di wajahnya keluar. Ini menandakan kalau dia
tidak bisa diajak becanda. Dia benar-benar marah besar.
“Berati kan ini punya kamu. Belum ada serah terimanya ke
dia. Berati ya masih milik kamu. Tapi kenapa tadi waktu aku tanya kamu Cuma bilang
‘nggak tau, bang’ gitu aja. Saya kan jadi emosi. Seolah tu kamu nggak
menghargai saya. Saya ini disini senior kamu. Jangan salahkan kalau nanti kamu
bisa di tonjok orang Medan. Serius.”
Dia masih melanjutkan kemarahannya dan aku hanya bisa
manggut-manggut. “Kamu ini saya lihat disini paling jelek kelakuannya. OK,
silakan kamu mainan laptop kalau nggak ada kerjaan. Itu hak kamu. Kamu nggak
butuh teman. Nggak mau sosialisi sama orang-orang disini itu hak kamu. Tapi
hargai saya sebagai senior kamu. Waktu saya tanya tadi kamu Cuma jawab ‘nggak
tau’ gitu aja kan bikin awak emosi. Seolah-olah kamu tidak menghargai saya.
Maaf ya kalau saya bilang gitu. Saya kesel dari kemarin ngurusi kunci-kunci
ini. Jadi tolong bantu awak. Jangan malah bikin awak emosi.”
Coretan klasik si Andi
Medan, 30 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar