Kepala Botak, Pertama Kali Cukur Kumis
Membuat Perlengkapan Buat Ospek
Ngumpul Menjelang Ospek STAN
Tidak Peduli Dimarahi Senior
Gadis yang Polos
Jam setengah 8 lebih sedikit aku sudah sampai di Balai Diklat Keuangan Medan (BDK). Aku dapat nomer antrian156 untuk mengantri tes wawancara -tahap terakhir untuk bisa menjadi mahawiswa di STAN-. Bisa menuntut ilmu di kampus STAN adalah cita-citaku dari dulu. Walaupun sekarang aku sudah bekerja di perusahaan ternama di Indonesia, tapi aku tetap menginginkan bisa bersekolah di sekolah yang memiliki ikatan kedinasan dengan Menteri Keuangan itu.
"Dilantai dua ya", petugas yang memberi nomer antrian kepadaku itu memberitahu. Padahal setelah aku tanya kepada calon mahasiswa yang sedang mengantri untuk diwawancarai juga, nomer antrianku itu wawancaranya di lantai satu. Tapi biarlah aku turuti aja di lantai 2. Lagian juga asyik di lantai dua Bisa melihat calon mahasiswa STAN lain yang sedang ikut test kebugaran.
Aku berdiri memandangi teman-teman yang berdatangan yang juga ingin tes wawancara -harusnya bukan teman, soalnya aku dari jawa, baru 10 bulan di Medan, tidak ada yang kukenal satu pun diantara mereka-. Tiba-tiba berdiri seorang gadis disampingku. Gadis itu memakai jilbab, manis, dan kelihatannya polos.
"Dapet nomer antrian berapa?" Aku memandangi wajah polos itu. Dia menunjukkan kertas yang berisi nomer antriannya. Nomer 160. Wahhh, berati dia masih dibelakangku.
Beberapa menit kami ngobrol ngalor ngidul. Dia setengah nggak percaya pas aku ngomong kalau asli anak Jawa dan sekolah di Jawa. Aku cerita kalau disini aku hanya anak perantauan. Aku bekerja di Astra Internasional - Auto 2000 - sudah hampir 10 bulan. Aku di Medan ngekos. Keluargaku ya teman-teman se-perantauan dari Jawa yang ngekos bersama. Dia adalah Pujakesuma. Puteri Jawa Keturunan Sumatera. Orang tuanya adalah orang jawa yang mahir bahasa jawa. Namun, gadis yang berdiri didepanku ini tidak bisa bahasa jawa. Yang tahu cuma kata : "Turu, Adus, Mangan". Kami tertawa tergelak. Teman-teman yang lain sepertinya iri dengan keakraban kami.
"Eh, kita belum kenalan lho..." Dia mengulurkan tangannya kearahku.
"Oiya, keasyikan ngobrol jadi lupa kalau kita belum kenalan. Andi"
"Dina"
Sebenarnya aku sudah tahu nama dia, bahkan nama panjangnya pun aku sudah tahu. Di hari sebelumnya waktu tes kesehatan-kebugaran, dia tepat di nomer antrian didepanku. Diam-diam aku sudah memperhatikan dia. Dina terlihat sangat kelelahan ketika lari 12 menit jatahnya di jam setengah 2. Saat itu matahari benar-benar sangat terik dan menyengat kulit.
"Sholat duha yukkkk....!!!! Aku menebak kalau Dina tidak akan menolak untuk beribadah seperti ini kalau dilihat dari penampilannya yang memakai jilbab. Mencari perhatian gadis seperti ini ya dengan cara-cara yang berbau religius. Ternyata benar, dia mengiyakan ajakanku.
"Tapi, mukena Dina dibawa Ibu lho... Sebentar Dina ambil dulu diluar ya."
Aku dan Dina turun menyusuri tangga. Dina menuju pintu gerbang untuk mengambil mukena yang dibawa ibunya, Aku langsung ke mushala untuk sholat duha.
"Kamu turun aja sana Ndi, ntar udah gilirannya kamu nggak tau lho...."
Berkali-kali Dina menyuruh aku turun ke lantai tapi aku abaikan. Aku masih ingin ngobrol berlama-lama dengan dia. Entah kenapa aku dan Dina bisa langsung akrab. Bahkan becanda lepas.
Untuk kesekian kalinya Dina menyuruh aku turun, akhirnya aku iyakan juga.
Hingga tiba giliranku untuk diwawancari jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menenangkan diri. Mengingat apa saja yang bisa membuat aku menjadi tenang.